Regulasi Penyiaran

Artikel ini memuat pandangan kritis mengenai kebijakan-kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF). Mohon dibaca dengan seksama agar tidak menimbulkan salah tafsir, ini adalah undangan untuk diskusi sehat. Kami bukan ahli hukum, tulisan ini berangkat dari sudut pandang seorang pemirsa awam. Tapi kami percaya bahwa artikel ini pun diatur undang-undang.

UU No. 33 Tahun 2002 Pasal 52

1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.

2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.

3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

KPI dan LSF adalah lembaga pemerintah yang sifatnya independent. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dua lembaga ini berpedoman pada dasar hukum yang sah seperti UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang diperkuat dengan peraturan KPI yakni P3 SPS dan UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman.

Artikel ini dimulai karena beberapa poin kebijakan dan produk hukum mengenai penyiaran dan film dirasakan tidak kuat, sehingga hukum yang berlaku menjadi agak rancu untuk diterapkan.

Alih-alih menjaga martabat manusia Indonesia, kebijakan-kebijakan hal penyiaran justeru dapat melemahkan daya pikir dan mental masyarakat. Yang kita inginkan adalah masyarakat dengan pikiran maju/terbuka (open minded) dan mental yang kuat agar tidak kalah dengan bangsa asing; tidak lupa dengan nilai-nilai luhur budaya Indonesia, sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2002 pasal 5 – poin c, h dan j:

UU No. 33 Tahun 2002 Pasal 5 – poin c, h dan j
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
j. memajukan kebudayaan nasional.

Berikut beberapa hal yang perlu ditinjau ulang tersebut..

Pornografi dan Fashion

Mari kita membicarakan seks. Walaupun tidak sevulgar yang banyak orang harapkan, tapi mungkin bisa membuat hal ini tidak menjadi tabu untuk dibicarakan, agar kita dapat mendalami masalah ini dengan baik.

Tampaknya lembaga penyiaran dan produk film diharuskan untuk menyensor (blur) belahan dada wanita dan terkadang pahanya juga.

P3 SPS mengatakan:

P3 SPS Tahun 2012

Pasal 5 – poin b dan i

Pedoman Perilaku Penyiaran adalah dasar bagi penyusunan Standar Program Siaran yang berkaitan dengan:
b. nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan;
i. muatan seksual;

Pasal 9

Lembaga penyiaran wajib menghormati nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 16

Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual.

UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman mengatakan:

UU No. 33 Tahun 2009

Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:

Pasal 6 – poin b
b. menonjolkan pornografi;

Peraturan P3 SPS dan UU No. 33 Tahun 2009 Pasal 6 tersebut di atas dirasakan terlalu lemah untuk menerapkan kebijakan sensor belahan dada wanita. Kebijakan ini terlalu berlebihan.

Kelemahannya adalah:

  1. Tidak ditentukannya definisi yang jelas dari frase “Muatan Seksual” dan istilah “Pornografi”. Baik pornografi maupun fashion style memiliki unsur muatan seksual. Muatan seksual pada pornografi cenderung mengarah kepada hubungan seks (intim) dan biasanya mereka telanjang bugil atau menampakkan puting susu wanita dan alat kelamin pria/wanita, sedangkan pada fashion style digunakan istilah sex appeal, konotasi dari sex appeal bisa hanya sebatas berpenampilan menarik dan itu tidak bisa dilarang.
  2. Masyarakat Indonesia memiliki norma kesopanan dan kesusilaan yang berbeda. Anda tidak dapat mengatakan Koteka dan Kemben adalah elemen pornografi dan tidak sopan, itu kebudayaan Indonesia yang termasuk pakaian tradisional.. Indonesia.
  3. Detail dari yang dikatakan “Ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program” pada pasal 16 tampaknya tidak dituliskan di UU dan P3 SPS. Apakah kebijakan KPI didasari keputusan inisiatif individu?

Undang-undang dan KPI harus menyadari bahwa persepsi manusia akan satu hal sangat variatif. Kita tidak dapat men-generalisasi hukum begitu saja di Indonesia.

Gambar berikut ini adalah ilustrasi terkenal yang digunakan untuk memahami persepsi manusia. Sebagian akan mengatakan itu adalah gambar wanita muda, sebagian akan mengatakan gambar wanita tua, bagi yang sudah menyadari.. mereka akan mengatakan bahwa ada dua karakter yang berbeda dalam satu gambar.

old_yng

Jika ada seorang wanita yang belahan dada atau pahanya terlihat di layar TV, tidak semua pria terangsang untuk melakukan hubungan seks, tidak semua orang menganggap itu tidak sopan, tidak semua agama mengatakan itu dosa! Hukum harus mentaati hukumnya sendiri dengan menghormati sifat multi-kultural bangsa Indonesia.

Bahkan sepotong gambar wajah dapat menimbulkan gairah seks dan melihat proses hubungan seks/intim dapat membuat kita merasa jijik, bukannya terangsang.

Tanyakan presiden kita, jika beliau melihat belahan dada Syahrini yang sedang bergaya genit/centil di TV, apakah beliau akan tertarik atau merasa biasa saja, atau malah merasa muak. Lalu berikan masyarakat Indonesia pertanyaan yang sama. (mengapa harus tanya presiden? Karena KPI bertanggung jawab kepada presiden – UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 53)

Jika KPI atau LSF tetap melanjutkan kebijakan sensor belahan dada/paha ini, justeru masyarakat dapat menilai bahwa KPI dan LSF lah yang selalu ‘memiliki pikiran kotor itu’ dan perlu diberi pencerahan, karena tidak semua masyarakat menganggap belahan dada wanita itu tidak sopan atau termasuk pornografi.

Sebuah cerita filosofi Zen untuk pendalaman pemahaman persepsi seksual:

Seorang rahib dengan muridnya melihat seorang gadis cantik mau menyebrangi sungai. Rahib tersebut menggendong gadis itu sampai seberang sungai, diikuti muridnya dari belakang yang terlihat kebingungan dan malu-malu. Setelah itu rahib dan muridnya meninggalkan gadis cantik tersebut lalu meneruskan perjalanan. Di tengah perjalanan sang murid bertanya kepada rahibnya “Guru, mengapa engkau menggendong seorang gadis, bukankah kita tidak boleh menyentuh tubuh wanita?”. Sang rahib menjawab “Aku sudah tidak menggendong gadis itu, kaulah yang masih membawa ia sampai sini”.

Persepsi seksual pada setiap orang tergantung hatinya (dan akalnya), sehingga respon dari persepsi tersebut pun bervariatif dan kita tidak bisa mengontrol siapa yang akan berbuat jahat, siapa yang akan berbuat baik. Kami yakin KPI dan LSF dapat memaklumi itu.

Mohon kebijakan sensor belahan dada/paha wanita ini dikaji ulang. Bukan kami mendukung pornografi, tapi kebijakan ini terlalu berlebihan dan tidak mendidik.

Batasan Kekerasan

Tampaknya juga lembaga penyiaran dan produk film diharuskan menyensor aksi kekerasan.. katanya untuk mencegah dampak negatif bagi anak-anak dan remaja. Kebijakan yang pernah dikeluarkan juga sangat berlebihan.

Kelemahan dasar hukumnya kurang-lebih sama. Tidak tampaknya deskripsi yang jelas mengenai kekerasan. Berikut ini adalah landasan hukum yang menyinggung masalah aksi kekerasan dalam tayangan TV atau film:

UU No. 32 Tahun 2002

Pasal 36 – poin 5 huruf b

(5) Isi siaran dilarang :
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang;

UU No. 33 Tahun 2009

Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:

Pasal 6 – poin a
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

P3 SPS Tahun 2012

Pasal 5

Pedoman Perilaku Penyiaran adalah dasar bagi penyusunan Standar Program Siaran yang berkaitan dengan:

Pasal 5 – poin j
j. muatan kekerasan;

Pasal 17

Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.

Ini masih mengenai persepsi dan persepsi ini tidak hanya dimiliki pihak otoritas. Hendaknya hukum memiliki klasifikasi khusus mengenai kekerasan. Tindak kekerasan memiliki tingkat yang berlainan; mulai dari yang wajar sampai yang sadis. Dampak yang ditimbulkan juga berbeda, bisa positif, bisa negatif.

Lebih mudahnya, kita menggunakan contoh kasus.

Contoh aksi kekerasan 1

Seorang superhero memukul seekor monster yang jahat dengan tiang listrik. Kemungkinan-kemungkinan persepsi penonton (anak-anak) yang muncul adalah:

  1. Anak-anak akan termotivasi menjadi seorang pemberani yang melawan kejahatan. (positif)
  2. Anak-anak terinspirasi untuk menonjolkan kekuatan untuk melukai anak lain. (negatif)

Jika kemungkinan b dicegah maka kemungkinan a juga akan terhalangi, lalu untuk apa gunanya menonton tayangan tersebut; ditayangkan tapi disensor.

Contoh aksi kekerasan 2

Seorang prajurit menembak musuh. Kemungkinan-kemungkinan persepsi penonton yang muncul adalah:

  1. Penonton akan termotivasi untuk menambah semangat kebangsaan. (positif)
  2. Penonton akan termotivasi untuk membunuh orang lain. (negatif)

Jika kemungkinan b dicegah maka kemungkinan a juga akan terhalangi, lalu untuk apa gunanya menonton tayangan tersebut; ditayangkan tapi disensor.

Contoh aksi kekerasan 3

Seorang polisi ditembak mati oleh penjahat. Kemungkinan-kemungkinan persepsi penonton yang muncul adalah:

  1. Penonton akan ikut mengalami rasa haru dan lalu termotivasi untuk memerangi kejahatan. (positif)
  2. Penonton akan termotivasi untuk menggangu orang lain, kalau ada polisi.. tembak. (negatif)

Jika kemungkinan b dicegah maka kemungkinan a juga akan terhalangi, lalu untuk apa gunanya menonton tayangan tersebut; ditayangkan tapi disensor.

Anda tidak dapat mengontrol ini semua.

Produk film memiliki makna yang terkandung dalam setiap adegannya, yang para sineas lakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk menyentuh emosi dan daya pikir audiens agar makna yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh audiens.

Jika bagian-bagian yang penting seperti adegan-adegan yang didramatisir (peperangan, perkelahian, dsb.) disensor, maka makna yang terkandung didalamnya kemungkinan tidak akan sampai kepada audiens. Plot dari film tersebut juga jadi berantakan.

Adegan-adegan kekerasan yang termasuk ‘biasa’ atau ‘umum’ hendaknya tidak disensor; apalagi jika adegannya hanya berupa pertarungan bela diri (namanya saja sudah seni bela diri, martial art), kita juga punya silat dan ingin diperkenalkan kepada publik Internasional.

Penampakan darah juga adalah elemen yang penting dalam rangka menimbulkan efek emosionil, lakukan klasifikasi penampakan darah dari yang wajar sampai yang sadis. Jika mobil seseorang menabrak pohon lalu kepala pengemudinya menghantam steer, wajar saja jika keningnya berdarah; yang aneh itu jika wajah pengemudi terlihat cemerlang, atau ‘hitam-putih’.

Lagipula, sudah ada regulasi yang mengatur mana tayangan untuk dewasa, mana yang untuk anak-anak.

Kita tidak dapat mengatur apa yang harus penonton rasakan dan butuhkan; kami di sini juga hanya memberikan kritik musik dan himbauan-himbauan, tapi kami tidak dapat mengatur selera musik para pembaca blog kami. Dampak apapun terhadap penonton adalah tanggung-jawab penonton itu sendiri, bagi anak-anak, tanggung-jawab itu ada pada peran orang tua.

KPI dan LSF cukup memberikan himbauan, tapi jika masih ingin perduli, tidak perlu berlebihan.

Sensor dapat dilakukan untuk adegan kekerasan dengan tingkat Sadis seperti pemenggalan kepala, jatuh dari ketinggian lalu darah tersembur kemana-mana, menikam tubuh manusia berkali-kali, mutilasi, vampir menggigit leher manusia dan sebagainya.

Mohon kebijakan sensor aksi kekerasan dikaji ulang. Bukan kami mendukung kekerasan, tapi kebijakan ini terlihat seperti seorang paranoid. Kebijakan seperti ini dapat merusak karya seni, melemahkan mental dan mengerdilkan daya pikir masyarakat banyak.

**

UU dan peraturan tertulis terkait lainnya tidak memuat deskripsi yang mendetail mengenai muatan kekerasan dan pornografi. Lalu atas dasar apa kebijakan sensor dan batasan lainnya dibuat? Kebijakan-kebijakan hukum seperti ini dirasakan sudah terlalu jauh menguasai individu-individu masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana dengan kebebasan ekspresi seni dan hak asasi manusia? Bagaimana kita mau disegani bangsa asing dan bersaing dengan mereka? Sejauh apa harkat dan martabat bangsa dapat ditingkatkan melalui kebijakan seperti ini? Pertimbangkan hal ini.

Sekali lagi, kami bukan ahli hukum, mohon koreksinya jika ada kesalahan dalam artikel ini. Artikel ini dibuat berdasarkan pandangan awam masyarakat umum.. yang turut merasa adanya kejanggalan dalam hal regulasi penyiaran ini; terlalu berlebihan.

Apa hubungannya dengan musik? Mungkin tidak ada. Kami hanya berharap regulasi seperti ini tidak lalu mengekang kebebasan ekspresi karya seni.. yang tentunya disertai dengan tanggung-jawab.

**

Masalah moral masalah akhlak

Biar kami cari sendiri

Urus saja moralmu urus saja akhlakmu

Peraturan yang sehat yang kami mau

– Manusia Setengah Dewa by Iwan Fals –

Jika kami menggunakan lirik bang Iwan di atas, mungkin akan terkesan kasar. Tapi tampaknya, makna yang terkandung dalam bait tersebut ada benarnya.

Leave a comment